Inovasi Biotron Solusi Wujudkan Swasembada Pangan dan Ekonomi Hijau Nasional

Oleh:

Budiono, SP, MM

Widyaiswara Ahli Madya

Balai Besar Pelatihan Pertanian Binuang – BPPSDMP – Kementerian Pertanian

TAPIN – Pemerintah Indonesia berkomitmen mendukung pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang merupakan salah satu penyebab perubahan iklim. Komitmen ini dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional GRK. Pada 2016, sebagai kontribusi terhadap Perjanjian Paris, pemerintah Indonesia meningkatkan target penurunan emisi GRK menjadi 29 persen (dengan upaya nasional) pada skenario business as usual hingga 41 persen apabila mendapatkan dukungan dari internasional pada 2030. Dalam komitmen untuk memitigasi perubahan iklim, pemerintah Indonesia tentunya memerlukan alokasi keuangan yang besar. Kebutuhan pendanaan untuk mencapai target penurunan emisi pada 2030 diperkirakan akan mencapai 247,2 miliar dollar AS per tahun.

Oleh karena itu Kementerian Pertanain RI dalam rangka mendukung ketahanan pangan nasional berkelanjutan, tak bisa dipisahkan dengan program ekonomi hijau. Telah banyak kegagalan panen(Fuso) terjadi hingga mengancam ketahanan pangan nasional, stok pangan nasional minus  hingga impor 3.5 juta ton tahun 2023, dan 5.7 juta ton tahun 2024. Demi menghadapi perubahan iklim yang berdampak signifikan terhadap produksi dan produktivitas tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan.

Kementerian Pertanian (Kementan) terus berupaya mencari solusi tepat guna, salah satunya mempercepat penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman telah meminta seluruh jajarannya agar sigap menurunkan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dengan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan mitigasi dan adaptasi yang diperlukan.

Sejalan dengan arahan tersebut, Tenaga ahli Menteri bidang Penyuluhan  mengatakan perlu adanya strategi pembangunan rendah karbon untuk mewujudkan pembangunan pertanian yang berkelanjutan.

“Implementasi kebijakan yang mendukung praktik-praktik pertanian berkelanjutan perlu diterapkan. Kolaborasi seluruh stakeholder sangat penting agar seluruh pihak dapat berpartisipasi dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dalam pencapaian target nasional (NDC) sebesar 29% dengan usaha sendiri dan hingga 41% dengan dukungan internasional dibandingkan dengan skenario baseline emisi GRK tanpa kebijakan mitigasi dari tahun 2010 hingga 2030,” ujar Prof. Dedi Nursyamsi pasca FGD pemanfaatan Biotron dalam rangka mewujudkan pertanian berkelanjutan dan ekonomi hijau (17/12/2024).

Langkah dalam penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) harus selaras dengan penyelenggaraan nilai ekonomi karbon sehingga tercatat penurunan emisi karbon. Pencatatan nilai ekonomi karbon menjadi integritas usaha yang telah dilakukan oleh Indonesia. Selain itu dengan mengatur nilai ekonomi karbon, pemerintah dapat mengawasi dan mengelola emisi GRK dari berbagai sektor ekonomi, termasuk pertanian.

Upaya untuk mencapai target NDC melalui penyelenggaraan Mitigasi, Adaptasi Perubahan lklim, dan NEK yang dilaksanakan secara akurat, konsisten, transparan, dan berkelanjutan yang dapat dipertanggung jawabkan.

”Lima sektor yang menjadi target pengurangan emisi karbon GRK 2030 (NDC) meliputi FOLU (Forestry and Other Land Uses), Energi, Limbah, IPPU (Industrial Process and Production Use) dan Pertanian,” jelasnya.

Pada kesempatan tersebut, ditjen perkebunan meminta pemerintah daerah berperan aktif dan berkontribusi memberikan informasi kepada masyarakat, stakeholder, dan pelaku usaha dalam implementasi penurunan emisi karbon.

“Saya harap agar seluruh jajaran Direktorat Jenderal Perkebunan dapat bersinergi dan berkolaborasi dengan instansi terkait sehingga menghasilkan kontribusi nyata terhadap percepatan pembangunan nasional bebas emisi karbon,” harap ditjenbun.

Perlu diketahui, Direktorat Jenderal Perkebunan melaksanakan kerjasama Biocarbon Fund Initiative for Sustainable Forest Landscape (BioCF-ISFL) tahun 2023 yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman tentang dampak perubahan iklim di sektor perkebunan, mencapai pengurangan emisi gas rumah kaca, dan mendukung upaya pelestarian hutan dan lingkungan di wilayah tersebut.

Rencana tindak lanjut kegiatan BioCF-ISFL 2024 antara lain melakukan pembuatan demplot terkait nilai ekonomi karbon dengan harapan dapat meningkatkan pemahaman instansi terkait dan stakeholder mengenai nilai ekonomi hijau.

Kepala BPPSDMP, Dr.Idha mengharap ”inovasi biotron dapat menjadi bagian solusi menuju pertanian berkelanjutan untuk mendorong perbaikan kesuburan tanah dan daya simpan air hingga berdampak pada produktifitas tanaman untuk menopang tercapainya swasembada pangan nasional.

Sosialisasi inovasi biotron harus dimasifkan melalui bimtek, pelatihan, TOT hingga diseminasi bentuk online lainnya. Untuk menumbuhkan kesadaran dan gerakan untuk mengimplementasikan biotron menjadi solusi energi positif untuk mendorong program PAT, LTT, CSR OPLAH baik pada lahan sawah rawa hingga lahan kering yang capaiannya masih perlu didukung semua pihak.

”Sehingga mempu menjadi daya tarik baru ditengah-tengah stagnannya capaian yang ditargetkan, dengan hadirnya biotron mampu menjadi daya gedor dan energi positif untuk mengungkit stagnasinya capaian yang ada”, ujarnya.

Perwakilan Departemen Pengembangan Ekonomi keuangan inklusif hijau Bank Indonesia, Heru mengatakan ”Untuk mewujudkannya perlu melakukan pengawalan dan pendampingan teknis, kelembagaan dan monev, serta melakukan sinergi dan kolaborasi dengan instansi terkait maupun stakeholder, sehingga nilai ekonomi karbon memberikan dampak bagi pembangunan nasional” ujarnya.

Maka, penyediaan likuiditas hijau menjadi keniscayaan. Perbedaan antara kebijakan moneter konvensional dan kebijakan moneter hijau terletak pada tujuan akhir.

Kebijakan moneter konvensional hanya semata mencapai stabilitas harga dan keuangan tanpa ada ikatan seperti Perjanjian Paris atau Network for Greening the Financial System (NGFS). Sementara kebijakan moneter hijau bertumpu pada perserikatan internasional dalam menanggulangi perubahan iklim dan pemanasan global sebagai upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas moneter.

Center for International Climate Research (CICERO) mengklasifikasikan investasi hijau dalam tiga kategori yang berdasarkan eligible green, yaitu sektor investasi yang dapat dilakukan pada hasil pengembalian obligasi hijau. Pertama, dark green atau investasi hijau bersifat jangka panjang seperti pemanfaatan energi terbarukan. Kedua, medium green, yaitu investasi hijau dalam jangka menengah seperti pariwisata, perikanan atau pertanian berkelanjutan dan transportasi rendah emisi karbon.

Terakhir, light green merupakan investasi hijau dalam jangka pendek seperti bangunan-bangunan berkelanjutan. Ketiga jenis investasi hijau tersebut secara tidak langsung akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan dapat mempertimbangkan perekonomian jangka panjang dengan meminimalisasi risiko perubahan iklim. Kebijakan keuangan hijau merupakan wujud nyata dalam membangun ekonomi hijau melalui transmisi keuangan dengan penerbitan obligasi hijau. Obligasi hijau merupakan obligasi tematik yang memiliki tujuan dalam membangun perekonomian berkelanjutan melalui ekonomi rendah karbon.

Likuiditas pada obligasi hijau dapat dimanfaatkan dalam bentuk pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, tingkat obligasi hijau yang makin meningkat dipercaya akan mendorong investasi ramah lingkungan. Secara historis, European Central Bank merupakan bank sentral pertama yang menerapkan obligasi hijau sebagai instrumen likuiditas hijau. Bila berangkat dari koridor teoritis, tingkat suku bunga nominal akan sangat memengaruhi pertumbuhan obligasi hijau. Semakin rendah tingkat suku bunga, maka akan meningkatkan tingkat penerbitan obligasi hijau, begitu pula sebaliknya.

Kondisi ini sesuai dengan teori Preferensi Likuiditas milik Keynes yang menyatakan bahwa motif spekulasi dipengaruhi oleh tingkat suku bunga dikarenakan investor ingin berekspektasi untuk mendapatkan keuntungan maksimal pada masa depan. Oleh sebab itu, tingkat suku bunga dan obligasi hijau merupakan dua elemen penting yang dapat memengaruhi stabilitas harga serta inflasi. Mengarus dari risalah statisik yang diterbitkan oleh IMF (2021), Indonesia merupakan negara paling rendah dalam penerbitan obligasi hijau dibandingkan Thailand dan Filipina.

Ada beberapa tantangan, yaitu ketidaksesuaian tempo pembiayaan karena proyek yang bersifat ramah lingkungan rata-rata merupakan proyek berjangka panjang. Masih kurangnya kapasitas sektor perbankan dalam mendukung proyek investasi hijau. Selain itu, Indonesia memiliki fluktuasi tingkat suku bunga yang paling tinggi.

Thailand menjadi negara tertinggi penerbit obligasi hijau di Kawasan ASEAN yang dibuktikan dengan beberapa penghargaan yang diperoleh seperti Thailand’s Best Sustainable Bond, Best Issuer for Sustainable Finance dan Best Sustainability Bond dari Asset Asian Award (AAA). Thailand menawarkan peluang besar untuk mengembangkan pasar obligasi hijau terbesar di ASEAN lantaran tingginya kesadaran investor pada risiko perubahan iklim di Thailand.

Per kondisi ini menyebabkan tingginya penerbitan obligasi hijau didukung tingkat suku bunga Thailand yang paling rendah di antara negara ASEAN. Oleh sebab itu, tidak mengejutkan bila Thailand dapat memacu penerbitan obligasi hijau maupun obligasi konvensional. Tren pertumbuhan obligasi hijau tertinggi Indonesia terjadi pada 2021, yakni dari 4.400 juta dollar AS menjadi 5.216 juta dollar AS. Penerbitan obligasi hijau juga sangat dipengaruhi transmisi kebijakan moneter, yaitu fluktuasi tingkat suku bunga bank sentral. Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, efek kebijakan moneter hijau secara tidak langsung harus dapat ditransmisikan pada lingkungan.

Dalam menjaga kerusakan lingkungan, efek kebijakan moneter hijau tersalurkan melalui pasar keuangan hijau. Saluran transmisi ini disebut sebagai money view di mana kebijakan moneter hijau dapat memengaruhi stabilitas harga pada pasar keuangan dan bekerja secara efisien terhadap stabilitas harga karena perubahan tingkat suku bunga yang kemudian dapat bertransmisi pada tenor-tenor jangka panjang, termasuk tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

Pertumbuhan positif sektor keuangan hijau juga dipengaruhi oleh regulasi yang mendukung. Sejak akhir 2019, Bank Indonesia (BI) telah mengeluarkan serangkaian kebijakan makroprudensial untuk mendorong pertumbuhan keuangan hijau.

Pada FGD kementan 17 Desember 2024 berlanjut di FGD Bank Indonesia 16 Januari 2025, yang juga menghadirkan Kementerian Pertanian yang diwakili dari BPPSDMP ibu Sri dan ibu susi beserta inovator biotron sdr Budiono, Widyaiswara BBPP Binuang. Pada kesempatan Budi menyampaikan, bahwa biotron (biochar modifikasi/biochar three in one) berdasarkan hasil risetnya mempunyai kemampuan 224-254% dibanding kemampuan biochar (murni) dalam mengabsorsi air, nutrisi dan volume dengan luas area pori jauh lebih besar.

”Keunggulan inilah ditargetkan mampu membantu mengabsorsi sumber emisi gas rumah kaca (RGK) disamping meningkatkan karbon storage dalam tanah (seharusnya volatile ke admosfer) dan penghematan pupuk sebagai komplementer dan atau subtitusi” Imbuh Budiono

Kepala BBPP Binuang. Dr.Atekan, ditempat terpisah mengintruksikan agar inovasi biotron diinternalisasi di lingkungan BPPSDMP terkhusus BBPP Binuang, sehingga dapat menjadi rujukan teknologi dan menarik peserta pelatihan. Apalagi kedepan tentu akan banyak program dan kegiatan ekonomi hijau, tentu memerlukan pelatihan, bimtek hingga TOT.

”BBPP Binuang menangkap sebagai peluang untuk ditawarkan kepada pemerintah daerah dan kelompok masyarakat dan mendukung program nasional OPLAH, CSR, PAT dan Brigade Pangan, ” Pungkasnya.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id_IDIndonesian
Scroll to Top